Kabar – APKASINDO https://dpp-apkasindo.com Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Mon, 27 Sep 2021 05:49:20 +0000 id-ID hourly 1 https://wordpress.org/?v=5.9.10 https://dpp-apkasindo.com/wp-content/uploads/2020/05/cropped-sITE-Icon-32x32.png Kabar – APKASINDO https://dpp-apkasindo.com 32 32 176713663 Percepat Capaian Sertifikasi Pengelolaan Sawit Berkelanjutan https://dpp-apkasindo.com/percepat-capaian-sertifikasi-pengelolaan-sawit-berkelanjutan/ https://dpp-apkasindo.com/percepat-capaian-sertifikasi-pengelolaan-sawit-berkelanjutan/#respond Mon, 27 Sep 2021 05:49:20 +0000 https://dpp-apkasindo.com/?p=5469 Sertifikasi perkebunan kelapa sawit berkelanjutan terus digenjot. Upaya percepatan terus dilakukan terutama untuk mendorong sertifikasi pada kelompok petani sawit. Kendala klasik terkait legalitas lahan pun perlu segera diselesaikan.

Setelah 10 tahun penerapan sertifikasi pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan atau Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) berjalan di Indonesia, terdapat 755 sertifikat yang telah diterbitkan untuk perkebunan swasta dan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) dengan luas lahan 5,8 juta hektar dari total 9,6 juta hektar. Namun, sertifikat ISPO yang diterbitkan untuk kelompok petani, koperasi, dan badan usaha milik desa (bumdes) saat ini baru mencapai 20 sertifikat dengan luas lahan 12.600 hektar atau hanya 0,18 persen dari total lahan yang ada.

Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung, di Jakarta, Rabu (22/9/2021), mengatakan, berdasarkan indeks keberlanjutan, perkebunan kelapa sawit dari kelompok petani sudah masuk kategori berkelanjutan pada aspek ekologi, sosial, dan ekonomi. Namun, aspek hukum dan tata kelola lahan masih masuk kategori tidak berkelanjutan.

”Dari empat prinsip ISPO, legalitas kebun dari pekebun swadaya yang menjadi penghambat selama ini. Sebanyak 76,64 persen kebun sawit petani masuk kawasan hutan,” katanya. 

Legalitas lahan menjadi syarat untuk bisa mendapatkan sertifikasi ISPO. Lahan yang akan diajukan untuk sertifikasi tidak boleh berada di dalam kawasan hutan. Kondisi ini pula yang turut menghambat proses peremajaan sawit pada petani swadaya atau kebun rakyat.

Dari empat prinsip ISPO, legalitas kebun dari pekebun swadaya yang menjadi penghambat selama ini.

Gulat menuturkan, sebagai solusi percepatan sertifikasi ISPO, kriteria dan identifikasi perlu ditetapkan terlebih dahulu. Adapun kriteria yang ditetapkan adalah petani yang tidak memiliki surat tanda daftar budidaya (STDB) karena sawitnya tidak produktif, memiliki klaim kawasan hutan yang belum sampai tahap penetapan kawasan hutan, kebun telah terbangun sebelum UU Cipta Kerja diterbitkan, luas kebun sekitar 5-25 hektar, serta tidak bertempat tinggal di kawasan atau sekitar kawasan hutan. 

Petani dengan kriteria tersebut bisa melakukan proses pengajuan ISPO melalui tahapan yang sudah ditetapkan pemerintah, mulai dari tahap pengajuan, verifikasi, indikator, hingga mekanisme penyelesaian. Jika seluruh tahap tersebut sudah selesai, lahan perkebunan pun sudah bisa dikeluarkan dari kawasan hutan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Setelah itu, lahan bisa dimohonkan untuk mendapatkan penerbitan hak atas tanah sehingga sertifikasi ISPO bisa diproses.

Ketua Umum Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan Achmad Mangga Barani menyatakan, percepatan sertifikasi ISPO mutlak diperlukan. Ini agar tercapai tujuan sertifikasi ISPO sesuai Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia.

Tujuan tersebut ialah memastikan dan meningkatkan pengolahan, pengelolaan, dan pengembangan kelapa sawit sesuai prinsip dan kriteria ISPO; meningkatkan keberterimaan dan daya saing hasil perkebunan kelapa sawit Indonesia di pasar nasional dan internasional; serta meningkatkan upaya percepatan penurunan emisi gas rumah kaca.

Mangga Barani menyampaikan, percepatan sertifikasi ISPO bisa dilakukan, antara lain, dengan peningkatan kesadaran, pemahaman, dan komitmen dari pelaku usaha perkebunan sawit. Selain itu, ”Kami pun mendorong agar sekretariat komite ISPO bisa segera dibentuk. Adanya tenaga pendamping pekebun juga perlu ditambah lagi.”

eputi II Bidang Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah menyampaikan, pembentukan Sekretariat Komite ISPO memang akan dibentuk dalam waktu dekat. Pembentukan komite ini sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. 

Selain itu, identifikasi pada kebun rakyat juga akan diupayakan agar sertifikasi ISPO bisa segera didapatkan. Dana sarana prasarana pun bisa digunakan untuk memfasilitasi kelompok kebun rakyat.

”ISPO ini amat penting untuk menjaga eksistensi kelapa sawit yang kita miliki dari satu generasi ke generasi berikutnya,” tutur Musdhalifah.

Sumber : kompas.id

]]>
https://dpp-apkasindo.com/percepat-capaian-sertifikasi-pengelolaan-sawit-berkelanjutan/feed/ 0 5469
Penguatan Harga Minyak Sawit yang Membuat Dunia Terpana https://dpp-apkasindo.com/penguatan-harga-minyak-sawit-yang-membuat-dunia-terpana/ https://dpp-apkasindo.com/penguatan-harga-minyak-sawit-yang-membuat-dunia-terpana/#comments Mon, 27 Sep 2021 05:42:02 +0000 https://dpp-apkasindo.com/?p=5465 Program mandatori B30 yang efektif tersedia di seluruh SPBU di Indonesia sejak 1 Januari 2020 lalu terbukti mampu menjaga stabilitas harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di tingkat petani serta peningkatan konsumsi domestik. Ketua Umum DPP APKASINDO, Gulat Manurung mengatakan, implementasi program B30 merupakan titik nol sejarah tercapainya stabilitas harga TBS petani sawit Indonesia yang telah mampu menciptakan double effect yang membuat dunia terpana.

Lebih lanjut Gulat memaparkan, terdapat lima faktor pendorong peningkatan harga CPO dunia meningkat di tengah masih lemahnya perekonomian dunia akibat Covid-19.

Pertama, tingginya serapan CPO domestik dengan B30 yang mencapai 7,226 juta ton CPO pada 2020 sehingga mengakibatkan kelangkaan CPO dunia dan berlakulah teori ekonomi.

Kedua, dunia tidak bisa lepas dari ketergantungan CPO Indonesia, meskipun banyak negara sebagai penghasil minyak nabati dari tanaman selain sawit, namun efisiensi ekonomisnya 9,8 kali lebih mahal dibanding sawit (jika ditinjau dari penggunaan lahan). Ibaratnya, jika pisang goreng dimasak menggunakan minyak goreng biji bunga matahari maka harga pisang goreng tersebut bisa mencapai Rp 42.000 per satuannya.

Ketiga, tangki penimbunan CPO di negara-negara importir CPO Indonesia hanya terisi 30 – 60 persen dari total kapasitas normalnya karena terjadi kelangkaan CPO dunia.

Keempat, terjadi penurunan aktivitas budidaya tanaman penghasil minyak nabati di Eropa dan negara-negara produsen minyak nabati lain sebagai dampak dari pandemi Covid-19. Sementara itu, berdasarkan hasil survei APKASINDO di 22 provinsi di Indonesia pada tahun 2020, aktivitas agronomi dan agroindustri kelapa sawit sama sekali tidak terganggu.

Kelima, terbongkarnya rahasia negara-negara importir CPO Indonesia bahwa tujuan mereka mengimpor CPO bukan hanya untuk kebutuhan konsumsi (yang selama ini digaungkan seperti itu), tetapi juga untuk kebutuhan biodiesel, bahan bakar lainnya, dan reselling (menjual kembali).

“Kelima faktor inilah mengapa harga CPO meningkat drastis. Sesungguhnya tanpa kejadian Pandemi Covid-19 pun harga CPO akan semakin naik. Kata kuncinya serapan domestik CPO Indonesia melalui program biodiesel,” ungkap Gulat.

Sumber : Gatra.com

]]>
https://dpp-apkasindo.com/penguatan-harga-minyak-sawit-yang-membuat-dunia-terpana/feed/ 1 5465
Raih Gelar Doktor, Ketum APKASINDO Usulkan Penyelesaian Baru Sawit Petani dalam Kawasan Hutan https://dpp-apkasindo.com/raih-gelar-doktor-ketum-apkasindo-usulkan-penyelesaian-baru-sawit-petani-dalam-kawasan-hutan/ https://dpp-apkasindo.com/raih-gelar-doktor-ketum-apkasindo-usulkan-penyelesaian-baru-sawit-petani-dalam-kawasan-hutan/#respond Mon, 27 Sep 2021 05:38:03 +0000 https://dpp-apkasindo.com/?p=5459 Memecahkan mitos dan menolong Petani Sawit, Bang GM menjadi lulusan tercepat Program Doktor UNRI sepanjang sejarah dengan disertasi berjudul  Model Resolusi Konflik Lahan Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat dalam Kawasan Hutan Provinsi Riau.

Dr. Gulat ME Manurung, MP, CAPO, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) menjelaskan pembenahan tata kelola persawitan masih cukup panjang dan melelahkan, termasuk sawit-sawit rakyat yang ada di dalam kawasan hutan. Hingga kini, penyelesaian masalah kebun sawit rakyat di kawasan hutan belum ada kejelasan, sekalipun sudah terbit regulasi UU Cipta Kerja dan turunannya. Di saat bersamaan legalitas lahan satu hal mendasar bagi petani, baik untuk kepastian hukum namun juga keperluan pengembangan atau investasi lainnya.

Kebijakan dan regulasi belum menjawab sengkarut pengelolaan sawit rakyat, hingga rakyat jadi subjek paling dirugikan dengan konflik sawit dalam kawasan hutan. Faktanya sudah berjalan 6 bulan PP UUCK ini dan sudah berapa persen yang sudah terselesaikan dari 3.379.453 ha?. Ada yang terlupakan dalam UU Cipta Kerja tersebut.

Kementerian terkait sebaiknya memperhatikan bagaimana implementasi instrumen hukum dan kebijakan yang sudah dibuat untuk memastikan penyelesaian masalah sawit rakyat dengan menyasar langsung pada akar masalah. Sebenarnya sederhana sekali dalam menyelesaikan masalah ini karena tidak perlu mengeluarkan dana dari APBN dan APPBD.

Tak terbantahkan lagi, bahwa ekonomi Indonesia sangat tergantung dengan agribisnis dan agroindustry kelapa sawit, bukan hanya di masa pandemi covid ini, sejak krisis moneter 1998 sawit juga merupakan penyelamat ekonomi Indonesia. Oleh karena itu regulasi yang sudah dibuat dan akan dibuat harus melindungi dan memproteksi dari berbagai gangguan dan ancaman keberlangsungan aspek ekonomi, sosial dan ekologi kelapa sawit ini.

“Saya memandang jauh ke depan jika tidak mengakomodir akar masalahnya, maka perjalanan ini akan sangat melelahkan dan memakan korban. Permasalahan klaim hutan terhadap perkebunan kelapa sawit ini tidak akan terselesaikan dengan batas waktu 3 tahun sejak diundangkannya PP-UUCK namun kita sudah terkunci dengan batas ini dan disebut dalam UUCK,” jelas ayah dua anak ini.

Banyak persoalan yang bola panasnya ada di Kementerian LHK, ATR/BPN dan Kementerian Pertanian. Kita tidak bisa melihat kondisi setelah jadi perkebunan kelapa sawit, tapi harus melihat jauh ke belakang, mengapa itu terjadi? Menurut Gulat, petani tidak ingin menyalahkan siapun. Pemerintah sudah kerja keras melahirkan UU Cipta Kerja, dan mengapresiasinya, namun keterlupaan tadi patut disampaikan melalui penelitian dan kondisi eksisting.

“Untuk memilah persoalan ini menjadi terurai berdasarkan tipologi mengapa disana ada pekebunan kelapa sawit, maka saya tertarik untuk meneliti lebih rinci kelapa sawit rakyat dalam kawasan hutan produksi (batasan penelitian) pasca terbitnya UUCK dan turunannya,” urai Gulat yang akrab dipanggil Bang GM ini.

Asumsi yang dibangun adalah bagaimana kondisi eksisting perkebunan kelapa sawit yang masih terjebak dalam istilah kawasan hutan. Selanjutnya setelah diketahui kondisi eksisting, maka dilihat apakah usaha budidaya kelapa sawit rakyat ini sustainable dari aspek ekologi, ekonomi dan tata kelola hukum ?Jika memang kondisi eksisting pekebun ini sangat baik secara ekonomi keluarga, keterlibatan masyarakat cukup banyak, manfaat sosialnya cukup baik, aspek keanekaragaman hayati terjaga dan aspek budidaya kelapa sawit yang dilakukan pekebun juga sudah masuk kategori baik, maka tentu hal ini patut diperjuangkan dan dilanjutkan, sekalipun perkebunan sawit rakyat tersebut masih di klaim dalam kawasan hutan.

Untuk memastikan aspek kondisi eksisting ini memang layak untuk dilegalkan secara status kawasan, maka saya melakukan uji keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat ini. Memang lokasi penelitiannya cukup luas, yaitu 9 Kabupaten/Kota dari 12 Kabupaten/Kota di Riau. Ya benar, harus luas, saya tidak mau mengambil 2-3 kelompok lalu menggeneralisasi keseluruhan.

Mengapa di Riau? karena faktanya Riau yang terluas perkebunan kelapa sawitnya (4,170 juta ha), dimana 3.375.018 ha (80,93%) adalah dikelola oleh petani dan dari luas kebun petani sawit tersebut 54,28% terindikasi dalam Kawasan hutan (KLHK, 2020).

Hasil uji keberlanjutan dari penelitian ini dengan indikator 4 dimensi yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan hukum tata kelola diketahui bahwa dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial, perkebunan kelapa sawit rakyat sudah masuk indikator berkelanjutan. Ini menjadi catatan penting bagi saya sebagai peneliti.

Dari ketiga aspek dimensi ini yang paling luar biasa ternyata skor nilai keberlanjutan dari aspek sosial yang paling tinggi. Apa artinya ini? bahwa kelapa sawit adalah tanaman kerakyatan dan berdampak luas. Ya hampir sama dengan tanaman padi lah. Dari 4 dimensi tadi, untuk perkebunan sawit rakyat, dari hasil penelitian ini hanya terbentur di aspek hukum tata kelola. Artinya jika masalah sawit yang diklaim dalam kawasan hutan ini bisa diselesaikan maka sawit rakyat secara keseluruhan akan menjadi tanaman pertama di dunia yang sangat bersahabat dengan semua aspek dimensi kehidupan. Mana ada tanaman di muka bumi ini yang sebaik sawit dan kita faktanya hidup 24 jam bersama produk yang berbahan baku sawit.

Tentu ini menjadi tantangan bagi saya untuk memaduserasikan antara kekuatan sawit dari aspek ekonomi, sosial dan ekologi dan hambatan dari aspek legalitas.

Yang pertama saya bedah terlebih dahulu adalah mengenai UUCK dan Turunannya. Ternyata UUCK ini tidak menyelesaikan masalah secara keseluruhan terhadap persoalan sawit rakyat dalam Kawasan hutan.

Dari pemilahan saya, bahwa UUCK ini hanya menyediakan 4 tipologi penyelesaian permasalahan secara umum. Tipologi Pertama adalah pekebun yang dalam kawasan hutan tapi memiliki STDB (surat tanda daftar budidaya) maka dapat diselesaikan (dikeluarkan dari Kawasan hutan) melalui mekanisme Pasal 110A setelah membayar biaya PSDH-DR. (Provisi Sumber Daya Hutan – Dana Reboisasi).

Tipologi Kedua adalah Pekebun yang dalam Kawasan hutan tapi tidak memiliki STDB, maka dia wajib membayar denda administrasi sebagaimana ketentuan Pasal 110B, kemudian setelah denda tersebut dibayar, pemerintah memberikan izin untuk melanjutkan kegiatan perkebunan di Kawasan hutan produksi selama 1 (daur) atau 20 tahun. Sedangkan apabila kebunnya berada di Kawasan Hutan Lindung dan Hutan Konservasi, maka areal tersebut wajib dikembalikan kepada negara. Ini berarti mekanisme yang diatur dalam Pasal 110B tidak memungkin bagi petani untuk memiliki lahannya. 

Tipologi Ketiga adalah pekebun yang memiliki kebun paling banyak 5 Ha dan bertempat tinggal terus-menerus di dalam atau sekitar kawasan hutan paling singkat 5 tahun. Apabila kebun sawit tersebut berada di Hutan Produksi dan sudah dikuasai  lebih dari 20 tahun, maka areal tersebut dikeluarkan dari Kawasan hutan.

Dan terakhir Tipologi Keempat yaitu bagi pekebun yang sudah memiliki sertifikat Hak Atas Tanah namun diklaim dalam Kawasan hutan, maka permasalahan ini diselesaikan dengan cara mengeluarkan bidang tanah dari kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan.

Dari empat tipologi ini kiranya hanya tipologi 1 dan 2 yang memungkinkan bagi petani, karena memang untuk tipologi 3 harus dua puluh tahun menguasai tanah dan tipologi ke 4 mensyaratkan memiliki sertifikat, hal ini kecil kemungkinan dimiliki oleh petani.

Persoalannya adalah yang pertama, apakah STDB dan wajib tinggal di kebun yang disebut kawasan hutan tadi menjadi pembenaran? Dari penelitian Gulat tidak demikian. STDB baru muncul regulasinya tahun 2013 dan pedoman teknis STDB  baru terbit tahun 2018 yang artinya sepanjang belum terbit juklak/juknis tentang STDB ini maka secara operasional Permentan No 98 tahun 2013 tentang STDB tersebut belum bisa dilaksanakan.

Jadi praktis setelah 2018 STDB baru bisa dilaksanakan. Perlu dicatat bahwa STDB itu bukan izin, tapi hanya cara negara mencatatkan aktivitas perkebunan sawit dan rekapitulasi permasalahan yang dihadapi pekebun, jadi sifatnya hanya statistik semata. Lantas mengapa STDB dibuat menjadi “paku mati?”.

Yang kedua, di Pasal 110B ayat 2 (tipologi ke 3) diatur bahwa wajib tinggal di kebun yang disebut kawasan hutan minimum lima tahun berturut-turut. Menurut kajian sosial dan budaya hal ini tidak benar. Sia-sia Presiden Soeharto melakukan pembangunan Repelita selama 25 tahun dan upaya pembangunan infrastruktur yang gencar dilakukan Presiden Jokowi pada 7 tahun terakhir apabila  petani harus tinggal di tengah kebun dengan segala keterbatasan infrastruktur, jauh dari sekolah, jauh dari puskesmas dan minimnya penerangan di lokasi  yang di klaim kawasan hutan.

“Perlu dipahami karakteristik petani sawit terdapat tiga tipe, dua diantaranya adalah pekebun yang tidak berdomisili disekitar usaha kebunnya tersebut dalam artian kata, pemiliknya hanya datang sekali per 10 hari dan kebunnya tersebut dijaga oleh pekerja,” jelasnya.

Jadi hukum itu tidak bisa menghilangkan kondisi realita yang sudah ada, seperti misalnya soal surat kepemilikan tanah yang dikeluarkan oleh pemerintah seperti SKT, SKGR dan tipe surat kepemilikan tanah lainnya. Bukankah yang menerbitkan ini adalah pemerintah dalam artian pemerintahan desa dan kecamatan ? Lantas mengapa ini tidak diakui sebagai syarat resolusi konflik  dalam UUCK dan turunannya?.

“Merujuk uraian tadi maka saya membuat model penyelesaian konflik (resolusi) yang tidak terakomodir dalam UUCK dan Turunannya yang saya sebut Tipologi Kelima. Inilah novelty (Temuan) dari penelitian disertasinya. Jadi, tipologi kelima ini melengkapi tipologi yang sudah ada di UUCK dan Turunannya,” jelas Gulat yang juga auditor ISPO ini.

Tipologi kelima ini khusus untuk resolusi konflik sawit petani dalam kawasan hutan produksi (hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas, dan Hutan Produksi Konversi). Tipologi kelima ibarat menjala ikan di dalam kolam tetapi belum semua ikan terjala. Maka, saya menciptakan jala yang akan menjaring hampir semua ikan yang masih tertinggal di kolam tersebut.

Kata kunci dari tipologi ke 5 ini adalah tidak memiliki STDB namun memiliki keabsahan surat kepemilikan tanah, tidak tinggal di kebun, status kawasan hutan belum sampai ke penetapan, tertanam sawitnya sebelum UUCK terbit, tidak tumpang tindih dengan izin, luasnya perkepemilikan tidak lebih dari 25 ha. Terhadap kebun sawit yang memenuhi kriteria yang dimaksud dalam tipologi ke-5 ini maka kebun tersebut dapat dikeluarkan dari kawasan hutan.

Tipologi ke 5 ini dipandang memenuhi aspek kemanfaatan sebab kebun yang telah terbangun tersebut tentu menghasilkan manfaat ekonomi untuk memajukan kesejahteraan pekebun dalam arti sempit dan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas.  Dari sisi keadilan pun, dipandang tepat menerapkan model demikian karena klaim kawasan hutan belum sampai pada tahap penetapan Kawasan hutan. Tidak semestinya persoalan legalitas lahan menihilkan hak masyarakat yang secara faktual nyata di lapangan, karena seharusnya negara hadir untuk memberikan legalitas terhadap masyarakat yang demikian untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, disinilah sejatinya tujuan bernegara itu diwujudnyatakan.

Jika tipologi ini dapat dioperasionalkan maka (1) sasaran utama dari tipologi ke-5 ini adalah kawasan HP (Hutan Produksi) dimana secara nasional 3,12 juta ha atau 92,52% dari total sawit dalam kawasan hutan (3,38 juta ha) berada di kawasan hutan Produksi (HP), dengan Tipologi ke-5 ini maka paling tidak 78% persoalan sawit dalam HP ini dapat diselesaikan.  (2)  dengan Tipologi  ke-5, target PSR 540 ribu ha menjadi lebih mudah dicapai, karena faktanya 84% petani gagal usul PSR karena diklaim dalam Kawasan hutan berjenis HP. (3) Rencana Aksi Nasional (RAN) Sawit berkelanjutan melalui ISPO akan berpeluang tercapai 2025, dimana petani diberi waktu pra kondisi sampai 2025 sebagai objek mandatori. (3) Program Energi Baru Terbarukan (EBT) dan biodiesel akan saling sinergis dengan produktivitas kebun PSR, manjaga stabilitas harga CPO dunia dan meningkatnya devisa dari ekspor CPO dan turunannya. (5) Memastikan sawit Indonesia memenuhi 4 kriteria dimensi dari aspek ekologi ekonomi, sosial dan aspek tata kelola hukum.

Sumber : Sawitindonesia.com

]]>
https://dpp-apkasindo.com/raih-gelar-doktor-ketum-apkasindo-usulkan-penyelesaian-baru-sawit-petani-dalam-kawasan-hutan/feed/ 0 5459
Guru Besar IPB: Tak Habis Pikir Ada yang Membenci Sawit https://dpp-apkasindo.com/guru-besar-ipb-tak-habis-pikir-ada-yang-membenci-sawit/ https://dpp-apkasindo.com/guru-besar-ipb-tak-habis-pikir-ada-yang-membenci-sawit/#respond Mon, 27 Sep 2021 05:34:04 +0000 https://dpp-apkasindo.com/?p=5455 Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Purwiyatno Hariyadi tak habis pikir jika ada masyarakat yang benci akan kelapa sawit. Sebab ketergantungan masyarakat akan sawit sangat tinggi.

Apalagi lebih dari 50% produk yang ditawarkan di supermarket atau ritel kecil lainnya berbahan dasar minyak kelapa sawit.

“Sedikitnya 68% minyak sawit digunakan sebagai bahan baku produk pangan dunia. Mulai margarin, produk konfeksioneri, cokelat, pizza, roti, minyak goreng dan masih banyak lagi,” papar Senior Scientist Southeast Asian Food & Agricultural Science & Technology (SEAFAST) Center, IPB University itu dalam webinar “Akselerasi Pengembangan Industri Kelapa Sawit untuk Mendukung Ekonomi Berkelanjutan di Provinsi Kalimantan Barat” Kamis (16/9/2021) lalu.

Tak sampai di situ, 27% persen lainnya, minyak sawit digunakan untuk pembuatan produk-produk yang setiap hari digunakan masyarakat. Seperti sabun, deterjen, pasta gigi, kosmetik, obat-obatan dan alat pembersih. Sementara 5 persen sisanya minyak sawit digunakan sebagai bahan baku bahan bakar bio diesel.

Menurutnya, di Indonesia penggunaan minyak sawit sepanjang 2017 hingga Juli 2021 terus menanjak. Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), pada 2017, produk minyak sawit digunakan untuk biodiesel sebesar 20,1%; oleokimia 6,2%; pangan 73,7%.

Sedangkan pada 2018, minyak sawit yang digunakan untuk biodiesel 28,3%; oleokimia 7,1%; pangan 64,5%. Pada 2019, biodiesel 34,8%; oleokimia 6,3%; pangan 58,9%. Pada 2020, biodiesel 41,7%; oleokimia 9,8%; pangan 48,6%. Sedangkan hingga Juli 2021, penggunaan minyak sawit untuk biodiesel sebesar 37,4%; oleokimia 11,3% dan pangan 51,3%.

Beruntung Indonesia dikaruniahi kekayaan alam berupa kebun kelapa sawit yah cukup luas. Malah saat ini, Indonesia adalah negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia yang pusat industrinya berada di Kalimantan Barat (Kalbar).

“Kalbar berpeluang untuk berkontribusi dalam memenuhi kebutuhan gizi nasional, serta dunia. Dan, minyak sawit secara alami tidak mengandung asam lemak trans untuk produk pangan dan memiliki keseimbangan antara komponen saturated fats dan unsaturated fats. Dan, minyak sawit juga memiliki keunggulan lain berupa kandungan fitonutrien yang sangat tingi seperti beta karoten dan tocopherol.

Industri sawit di tanah air merupakan aset nasional dan kekayaan dunia dan sangat efisien dan ekonomis.  Untuk merumuskan posisi ilmiah tentang status minyak sawit (Palm oil/PO) sebagai bahan pangan dan kesehatan, serta keberlanjutannya, pihak Perguruan Tinggi dan Lembaga Riset harus paduserasi,” pungkasnya.

Sementara itu, Ketua DPW APKASINDO  (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia) Kalimantan Barat Indra Rustandi, SS sependapat dengan paparan Prof Purwiyatno. Dimana menurutnya, selama 24 jam masyarakat Indonesia dan dunia tak luput dari sawit. 

“Jadi wajar kiranya jika sawit masuk dalam kelompok objek vital nasional. Sehingga  semua pihak tanpa kecuali harus menjaga dan melindungi,” tuturnya.

Indra menambahkan, tanpa sawit sudah lama ekonomi Indonesia terpuruk. Terlebih dimasa pandemi saat ini. Namun faktanya  sawit telah menyelamatkan perputaran ekonomi Indonesia dan Kalimantan Barat sebagai provinsi nomor 3 wilayah sawit terluas, tentu berperan untuk kestabilan tersebut.

“Saat ini sawit selalu disudutkan pihak-pihak tertentu. Yang paling memprihatinkan yang menyudutkan itu adalah anak bangsa ini dan salah satunya Kementerian Pembantu Presiden dengan berbagai modus denda dan klaim kawasan hutan.  Seharusnya mereka yang dihukum karena lalai dan abai selama ini melaksanakan tugasnya dan sawit telah menyelamatkan hutan Indonesia” paparnya.

“Kami petani sawit Indonesia sudah mengusulkan ke Komisi IV DPR RI dan ke Presiden supaya Kementerian Perkebunan dikhususkan dengan salah satunya dirjen agrisbisnis dan agroindustri sawit, ya harus sangat serius menangani sawit ini tentu dengan konsep keberlanjutan sesuai harapan kita semua. Kita harus mensyukuri sawit tumbuh subur di Indonesia, ini anugerah untuk Dunia,” tandasnya.

Sumber : Elaeis.co

]]>
https://dpp-apkasindo.com/guru-besar-ipb-tak-habis-pikir-ada-yang-membenci-sawit/feed/ 0 5455
Wapres: Ekspor Pertanian Meningkat 40,29 Persen Dibanding 2020 https://dpp-apkasindo.com/wapres-ekspor-pertanian-meningkat-4029-persen-dibanding-2020/ https://dpp-apkasindo.com/wapres-ekspor-pertanian-meningkat-4029-persen-dibanding-2020/#respond Wed, 08 Sep 2021 09:48:00 +0000 https://dpp-apkasindo.com/?p=5434 Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin mengatakan ekspor pertanian pada pertengahan 2021 meningkat sebesar 40,29 persen dibandingkan periode yang sama pada 2020 lalu. Hal itu ia ungkapkan dalam acara “Panen Perdana Kelapa Sawit Program Peremajaan Sawit Rakyat” yang disiarkan secara daring, Kamis (2/9/2021).

“Pada periode Januari sampai dengan Juni 2021 nilai ekspor pertanian mencapai Rp 277,95 triliun atau meningkat 40,29 persen dibanding periode yang sama tahun 2020,” kata Ma’ruf.

Berdasarkan data Kementerian Pertanian, kata Ma’ruf, pada 2020 ekspor pertanian tumbuh 15,79 persen atau mencapai Rp 451,77 triliun dibanding tahun 2019.

Sementara 2020, ekspor pertanian tumbuh 15,79 persen atau Rp 451,77 triliun dibanding dengan periode yang sama tahun 2019. “Khusus untuk ekspor komoditas kelapa sawit di tahun 2020 mencapai 22,97 dollar Amerika Serikat miliar atau setara dengan Rp 321,5 triliun. Angka ini naik 13,6 persen dibandingkan tahun 2019,” ujarnya.

Terkait Program Peremajaan Sawit Rakyat, lanjut Ma’ruf, adalah upaya pemerintah untuk meningkatkan produktivitas kebun sawit rakyat yang masih tergolong rendah sekitar 3,7 ton per hektar per tahun. Padahal, kata dia, potensi yang dapat dihasilkan bisa mencapai delapan ton per hektar, per tahun.

“Selain sebagai bentuk keberpihakan pemerintah kepada pekebun rakyat, peremajaan sawit rakyat juga merupakan bagian dari program Pemulihan Ekonomi Nasional yang mampu menyerap banyak tenaga kerja di masa pandemi Covid-19,” ungkapnya.

Ia menambahkan, pada tahun 2021 program ini ditargetkan menyasar tanah seluas 180.000 hektar dengan alokasi dana sebesar Rp 5,567 triliun.

Sedangkan sampai tahun 2022, pemerintah mentargetkan peremajaan sawit rakyat pada lahan seluas 540.000 hektar. “Untuk mencapai target tersebut, Pemerintah bersama seluruh pemangku kepentingan industri sawit perlu bersatu padu, bekerja bersama, dan berkolaborasi,” kata dia.

“Diperlukan kerja sama yang erat oleh tiga pihak dalam rangka pengelolaan sawit berkelanjutan, yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat,” ucap Ma’ruf.

Sumber : nasional.kompas.com

]]>
https://dpp-apkasindo.com/wapres-ekspor-pertanian-meningkat-4029-persen-dibanding-2020/feed/ 0 5434
Fakta Tentang Kelapa Sawit yang Jarang Terkuak https://dpp-apkasindo.com/fakta-tentang-kelapa-sawit-yang-jarang-terkuak/ https://dpp-apkasindo.com/fakta-tentang-kelapa-sawit-yang-jarang-terkuak/#respond Wed, 08 Sep 2021 09:42:07 +0000 https://dpp-apkasindo.com/?p=5430 Tak banyak yang tahu soal Industri Kelapa Sawit di Indonesia, apalagi terhadap dampak lingkungannya. Sejumlah fakta terkuak. Berdasarkan data, ada hal lain yang lebih besar dampaknya dan datangnya dari hal yang tak diduga-duga.

Deptartemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB, Prof Yanto Santosa menjelaskan menjelaskan banyak hal soal ini. Pertama, perkebunan kelapa sawit bukan penyebab utama deforestasi dunia.

Prof Yanto menjabarkan, luas deforestasi global sebelum tahun 1980 sudah mencapai 701 juta hektar. Kemudian pada periode 1990-2008 total deforestasi global 239 juta hektar (Eropean Commision, 2013). Sedangkan luas kebun sawit dunia sampai tahun 2008 hanyalah 14.7 juta hektar (Oil World, 2014). 

Maka, jika diasumsikan semua kebun sawit dunia tersebut dari hasil deforestasi maka luas kebun sawit tersebut hanyalah 6 persen dari total deforestasi global 1990-2008. 

Deforestasi global sebagian besar ( atau hampir 31 persen) ditujukan untuk membangun pertanian/pangan, kemudian disusul untuk kebutuhan padang penggembalaan (24 persen), kebakaran hutan (17 persen) dan lainnya (28 persen).

“Berdasarkan data tersebut perkebunan kelapa sawit global bukanlah pemicu utama deforestasi global. Pembangunan padang penggembalaan, perkebunan tebu, kacang kedelai, rapeseed dan sunflower menjadi pemicu utama deforestasi global,” ucap Prof Yanto, Senin 6 September 2021.

Selain deforestasi global, ada fakta lainnya yang perlu kamu ketahui soal industri kelapa sawit di Indonesia, yaitu dampak terhadap lingkungannya tidak begitu parah jika dibandingkan dengan kebakaran hutan.

“Sebagian besar, yakni 70 persen kebakaran yang terjadi di Eropa dan Afrika Utara adalah berupa hutan, hutan tanaman dan lahan kosong (natural land) dan sekitar 29 persen kebakaran terjadi pada lahan pertanian. Hal ini menunjukan bahwa kawasan hutan adalah land use yang paling luas dominan terbakar disetiap negara,” kata dia.

Fakta selanjutnya soal Peranan tata air (hidrologis). Selama ini banyak yang beranggapan salah soal hal ini. Berikut penjelasannya.

Jika dilihat dari Fungsi tumbuhan dalam ekosistem berperan dalam melestarikan tata air. Melalui mekanisme evapotranspirasi tumbuhan menguapkan air ke atmosfer yang pada gilirannya 
akan turun ke bumi melalui hujan. 

Nah, dibandingkan antara perkebunan kelapa sawit dengan hutan  secara umum memiliki peran yang sama dalam fungsi konservasi dan hidrologis. Hal ini tercermin dalam indikator evapotranspirasi, cadangan air tanah, penerusan curah hujan, laju infiltrasi dan kelembaban udara. 

Perkebunan kelapa sawit yang memiliki siklus produksi yang cukup panjang yakni sekitar 25 tahun (sejak ditanam sampai replanting). “Berarti fungsi konservasi dan hidrologis tersebut berlangsung setidaknya sampai 25 tahun,” ujar dia lagi.

Terakhir soal menghabiskan hutan tempatnya satwa. Faktanya, Indonesia itu berbeda dengan negara lain. Indonesia sejak awal telah menetapkan HCV dan HCS berupa hutan lindung dan konservasi.  

“Hutan lindung dan konservasi tersebut, merupakan hutan dengan nilai konservasi tinggi (High Conservation Value/HCV), baik berupa biodiversity maupun proteksi alam dan mengandung stok karbon tinggi (High Carbon Stock/HCS),” ucap dia.

Sumber : Viva.co.id

]]>
https://dpp-apkasindo.com/fakta-tentang-kelapa-sawit-yang-jarang-terkuak/feed/ 0 5430
Usulan Tarif PNBP Kawasan Hutan Bebani Petani Sawit https://dpp-apkasindo.com/usulan-tarif-pnbp-kawasan-hutan-bebani-petani-sawit/ https://dpp-apkasindo.com/usulan-tarif-pnbp-kawasan-hutan-bebani-petani-sawit/#respond Wed, 08 Sep 2021 09:38:33 +0000 https://dpp-apkasindo.com/?p=5425 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengajukan usulan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Penggunaan dan Pelepasan Kawasan Hutan. Draf tarif ini diterbitkan melalui surat Nomor S-509/2021 berkop Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan pada 13 Juli 2021.

Beredar di media sosial, usulan Tarif PNBP untuk Penggunaan Kawasan Hutan Dan Pelepasan Kawasan Hutan  yang akan diajukan kepada Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan. Naskah akademis Tarif PNBP ini disusun oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim Kementerian LHK.

Dalam surat tersebut bagi penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan perkebunan kelapa sawit beserta sarana prasarana penunjangnya dan area pengembangan dan/atau area penyangga sebesar Rp 4,35 juta per hektare per tahun.

Sementara itu, besaran  tarif PNBP pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit sesuai UUCK Pasal 110A sebesar Rp13.449.640/ha.

Ketua Umum DPP APKASINDO (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia), Dr. Ir. Gulat Manurung, MP.,C.APO memberikan tanggapan perihal Surat tarif PNBP tersebut. Ketika  terbitnya UUCK tersebut maka petani sawit mendukung proses penggodokan dan pengesahan UUCK pada 2020.

“Padahaal saat itu, kami petani sawit ditertawai banyak orang, namun kami membusungkan dada sambil mengepal tangan pertanda tangguh dan setara ketika itu,” kenang pria dipanggil Bang GM ini.

“Tapi yang terjadi setelah beredarnya di medsos surat tarif PNBP Kehutanan tersebut, kami kembali ditertawain. Namun kali ini kami sedih karena kami beban tarif dinilai petani terlampau berat. Kami petani sawit ini serba keterbatasan, jangan disamakan dengan korporasi,” ujar Bang GM.

Diakuinya untuk memahami Pasal 110A dan 110B UUCK dan turunannya saja petani sudah kebingungan, apalagi dengan tarif PNBP ini. “Ini baru taraf memahami lho, belum pada taraf sanggup atau tidaknya,” ungkap GM.

Gulat meminta tarif PNBP Kehutanan ini perlu ditinjau ulang. Dikaji lagi apa dasar dan variabelnya. Untuk itu APKASINDO segera berkirim surat ke Menteri Keuangan dan Menteri LHK untuk mengetahui dasar penetapan besaran tarif PNBP ini. 

“Ya kami akan mengedepankan komunikasi dulu, sebagaimana seperti pembahasan PP dan Permen LHK Turunan UUCK dulu. Sementara itu, demo adalah pilihan terakhir,” ujar GM.

Dari laporan yang diterima Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Riau ini, sebenarnya  semangat dan harapan petani sawit mulai surut setelah beredarnya tarif PNBP yang diterbitkan KLHK Nomor S-509/2021 tersebut.

”Sontak semua petani sawit terkejut, menimbulkan kecemasan dan kegaduhan dikalangan petani sawit, terkhusus Petani yang masih terjebak dengan nama kawasan hutan,” ungkap GM.

 “Saat membaca surat tarif PNBP Kehutanan ini pikiran saya entah melayang kemana, langsung turun imun kami petani sawit. Namun saya yakin Pak Jokowi dan Pak Maaruf Amin sebagai Presiden dan Wapres belum mengetahui tarif PNBP Kehutanan tersebut. Pak Jokowi dan Pak Ma’ruf Amin pasti akan berlaku adil perihal draf tarif PNBP tersebut,” urai Bang GM dengan yakin.

Gulat menguraikan areal perkebunan kelapa sawit Indonesia menurut Menteri Pertanian (2019) adalah seluas 16.381.957 hektar dan yang terindikasi dalam kawasan hutan luasnya 3,4 juta hektare (20,75%) dimana 2,6 juta hektare di antaranya tanpa izin.

Gulat meminta tarif PNBP Kehutanan ini perlu ditinjau ulang. Dikaji lagi apa dasar dan variabelnya. Untuk itu APKASINDO segera berkirim surat ke Menteri Keuangan dan Menteri LHK untuk mengetahui dasar penetapan besaran tarif PNBP ini. 

“Ya kami akan mengedepankan komunikasi dulu, sebagaimana seperti pembahasan PP dan Permen LHK Turunan UUCK dulu. Sementara itu, demo adalah pilihan terakhir,” ujar GM.

Dari laporan yang diterima Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Riau ini, sebenarnya  semangat dan harapan petani sawit mulai surut setelah beredarnya tarif PNBP yang diterbitkan KLHK Nomor S-509/2021 tersebut.

”Sontak semua petani sawit terkejut, menimbulkan kecemasan dan kegaduhan dikalangan petani sawit, terkhusus Petani yang masih terjebak dengan nama kawasan hutan,” ungkap GM.

 “Saat membaca surat tarif PNBP Kehutanan ini pikiran saya entah melayang kemana, langsung turun imun kami petani sawit. Namun saya yakin Pak Jokowi dan Pak Maaruf Amin sebagai Presiden dan Wapres belum mengetahui tarif PNBP Kehutanan tersebut. Pak Jokowi dan Pak Ma’ruf Amin pasti akan berlaku adil perihal draf tarif PNBP tersebut,” urai Bang GM dengan yakin.

Gulat menguraikan areal perkebunan kelapa sawit Indonesia menurut Menteri Pertanian (2019) adalah seluas 16.381.957 hektar dan yang terindikasi dalam kawasan hutan luasnya 3,4 juta hektare (20,75%) dimana 2,6 juta hektare di antaranya tanpa izin.

Sementara itu luasan 2,6 juta hektar identik dengan pekebun (petani), karena memang pekebun tidak wajib memiliki izin sebagaimana korporasi dan menurut data juga diketahui bahwa 68% dari 3,4juta ha tersebut adalah pekebun. Adapun sebaran perkebunan sawit dalam kawasan hutan tersebut antara lain di hutan konservasi (HK) luasnya 97.913 hektar (3%), di hutan lindung (HL) luasnya 155.119 hektar (4%), dihutan produksi tetap (HPTT) seluas 501.572 hektar (44%), di hutan produksi terbatas (HPTB) seluas 1.497.421 hektar (15%) dan di hutan produksi konversi (HPK) seluas 1.127.428 hektar (34%), dari data ini dominasi sawit itu berada di Kawasan Hutan Produksi (93%), kecil sekali dikawasan hutan Lindung dan konservasi.

Dandan Ardi, Sekretaris DPW APKASINDO Kalimantan Tengah, ketika dihubungi, mengatakan tidak habis pikir membaca tarif PNBP Kehutanan tersebut, ini keterlaluan.  Bagaimana mungkin kami petani bisa membayar tarif PNBP yang sebegitu besar, per tahun pulak, sama saja ingin mematikan kami petani sawit yang terjebak dalam kawasan hutan. Kami juga sebagai petani tidak ingin berkebun dalam Kawasan hutan, tapi tidak tahu batas hutan dan bukan hutan.

“Toh juga kami ketika menanam sawit tidak ada menumbang tanaman hutan, sebab saat kami menanam sawit di lahan tersebut sudah tidak berhutan. Harusnya orang Kehutanan itu yang dihukum karena lalai melaksanakan tugasnya jangan malah kami petani yang di denda dan juga di kenakan PNBP,” ujar Dandan dengan logat Dayak.

Demikian juga dengan Sofyan Abdullah, Ketua APKASINDO Aceh dan Dorteus Paiki dari Papua Barat, mengatakan bahwa petani sawit itu pahlawan dan sudah berperang untuk negara dengan berkebun sawit sebagai penyelamat ekonomi Indonesia, terkhusus disaat pandemi covid ini.

“Kalau dihitung tarif PNBP tersebut, saya pastikan sampai kapanpun kami tidak akan mampu membayarnya, jangankan 4 juta, 500 ribu rupiah per hektar per tahun pun belum tentu kami punya uang untuk itu, belum lagi denda administrasi dan PSDH-DR sebagaimana Pasal 110A dan 110B UUCK,” urai mereka berdua.

Bang GM melihat bahwa usulan tarif PNBP ini sangat berpotensi menggagalkan program strategis Presiden. Antara lain Program PSR (Peremajaan Sawit Rakyat) karena 84% petani gagal (ditolak) usul PSR karena diklaim dalam kawasan hutan. Sebagai informasi syarat PSR status kebun bukan kawasan hutan. Demikian juga Ketahanan Energi dan Program Biodiesel melalui Program Stranas EBT (Energi Baru Terbarukan), karena petani sawit akan terhenti produksi TBS karena aspek legalitas yang akan tegas di tahun 2025 sebagai implementasi Perpres 44 wajib ISPO bagi pekebun (RAN).

Selain itu juga, petani sudah berkontribusi bagi devisa ekspor kelapa sawit yang mencapai US$25,6 miliar pada 2020. Ini belum termasuk potongan dari pungutan ekspor sawit dan produk turunannya setiap bulan yang dikelola BPDPKS.

“Ya memang demikian, karena jika tidak membayar denda sebagaimana tertuang di Pasal 110A dan 110B (tipologi 1 dan tipologi 2) maka legalitas lahan petani tetap akan disebut illegal. Tentu hal ini akan menjadi ancaman bagi kami petani sawit, apalagi muncul tarif PNBP ini,” kata Gulat khawatir.

Sebagai contoh, jika Petani A masuk tipologi 1 yang dikenakan adalah Pasal 110A yaitu hanya dikenakan denda PSDH-DR dan pasangannya di Tarif PNBP ini adalah Tabel C (Poin B di Tabel Tarif PNBP Kehutanan) dengan tarif Rp.13.449.640/ha, jadi tarif ini hanya sekali bayar karena lahan si Petani A langsung pelepasan kawasan. Tapi jika si Petani B tersebut masuk ke Tipologi 2 (Pasal 110B) maka selain membayar denda PSDH-DR, juga membayar denda administrasi (Denda = luas kebun x Masa Usia TM x Tarif Denda).

Setelah denda ini dibayar si Petani B, maka lanjut membayar Tarif PNBP yaitu Rp.4.350.000/tahun (Tabel A Tarif PNBP). Kenapa si Petani A dan si Petani B berbeda tarif PNBP nya ? jawabannya karena beda Resolusi penyelesaian keterlanjuran sawit dalam Kawasan hutan (Tipologi).

“Jadi di UUCK dan Turunannya tersebut ada 4 Tipologi Resolusinya dan masing-masingnya membedakan tipologi permasalahan sawitnya yang terjebak dalam Kawasan hutan. Jadi ini patokan penetapan tarif PNBP itulah pemahaman saya pribadi,” jelas Bang GM.

Jadi untuk Tarif PNBP si Petani B ini ibaratnya STNK lah, membayar PNBP setiap tahun sebesar Rp.4,350 juta, yang terhitung setelah Pasal 110B tadi dibayar si Petani B tersebut. Jadi kalau sisa usia produktifnya 10 tahun lagi maka selama itulah membayar STNK per tahun.

“Karena di Pasal 110B ini kan tetap kawasan hutan (tidak dilepas) hanya dikasih pinjam selama satu daur. Ya kira-kira uang sewa kontrakanlah mungkin menurut Ibu Menteri Kehutanan dan Ibu Menteri Keuangan”, ujar GM sambil tertawa.

Terkait PSR, jika katakan saja Petani B memiliki kebun 8 ha dalam Kawasan hutan. Lalu mengusulkan ikut program PSR 4 ha nya (karena sawitnya sudah berumur 28 tahun), maka Petani B akan terlebih dahulu membebaskan klaim dari Kawasan hutan dengan membayar denda sebagaimana dalam Pasal 110B dan selanjutnya membayar tarif PNBP tersebut Rp.4.350.000/ha/tahun (dihitung kedepannya dan tidak berlaku surut).

Pengali Pasal 110B nya adalah 1 ha x Rp.1,5juta (asumsi keuntungan Petani B per ha/tahun) x 20 tahun (masa tanaman menghasilkan) = Rp.30juta x 4ha calon lahan PSR si Petani B (Rp120juta). Sementara jika 4 ha ikut PSR maka dana yang diterima Petani B dari BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit) adalah Rp.30jt x 4 ha = Rp.120juta.

Gulat berpendapat dari kalkulasi tadi bisa disebut impas namanya. Tapi  ini  belum lagi dengan “sewa tanah” (PNBP) Rp. 4,350juta/ha/tahun tadi.

“Masa petani kampung ini disamakan dengan korporasi yang full manajemen, atau jangan-jangan juga sama-sama berkeberatan. Perlu juga dicatat bahwa asumsi keuntungan 20% yang 1,5juta/tahun tersebut jika harga TBS Rp.3.500/kg,” urai Bang GM.

Namun untuk lebih memastikannya, kami akan membahas draft tarif PNBP ini, kami DPP APKASINDO segera mengundang Pakar-Pakar PNBP dan Kebijakan Kehutanan untuk kami mintai pendapat, biasanya kalau kami Petani yang bermohon ke pakar-pakar dengan senang hati dilayani, ini karena mereka tahu kami adalah petani yang sudah berjasa untuk negara dan lingkungan hidup. Hasil dengar pendapat (diskusi) ini akan kami ramu dalam bentuk surat yang kami tujukan ke Kementerian Keuangan dan KLHK.

Namun yang pasti, kalau Tarif PNBP ini dipaksakan maka kami petani sawit menyerah sajalah, kami petani sawit sudah capek bersoal terus dengan kawasan hutan, sementara “Bapak kami” Kementerian Pertanian tidak bisa berbuat banyak menolong kami. Entah mungkin sudah dianggap sawit itu tanaman kehutanan,” tutup GM.

Sumber : sawitindonesia.com

]]>
https://dpp-apkasindo.com/usulan-tarif-pnbp-kawasan-hutan-bebani-petani-sawit/feed/ 0 5425
Ditjenbun Dituding ‘Mencaplok’ Duit Receh https://dpp-apkasindo.com/ditjenbun-dituding-mencaplok-duit-receh/ https://dpp-apkasindo.com/ditjenbun-dituding-mencaplok-duit-receh/#respond Fri, 16 Jul 2021 02:42:08 +0000 https://dpp-apkasindo.com/?p=5390 Belum habis uneg-uneg pekebun sawit yang terpapar klaim kawasan hutan berseliweran ke ponsel lelaki 48 tahun ini, dua pekan belakangan, uneg-uneg soal beasiswa sawit pula yang membanjir dari hampir semua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) yang ada di 144 kabupaten kota dan 22 provinsi yang ada di Indonesia.

Mulai dari kapan seleksi beasiswa sawit akan dimulai hingga kenapa aturan penerimaan beasiswa sawit tiba-tiba sudah kayak pengajuan untuk ikut program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) menjadi pertanyaan para pekebun anggota Apkasindo itu.

Perubahan aturan main itu menjadi pertanyaan lantaran biasanya, penerimaan beasiswa itu cuma satu pintu. Anak pekebun, buruh kebun maupun pabrik kelapa sawit, boleh ikut menjajal nasib dengan cuma menyiapkan berkas yang dibutuhkan lalu diunduh ke aplikasi yang sudah ada.

Tapi sekarang, sudahlah yang boleh ikut cuma 8 provinsi, anak buruh kebun dan pabrik kelapa sawitpun sudah tak boleh ikut. Mereka diganti oleh pegawai negeri yang ikut mengurusi sawit.

Lalu, anak pekebun yang ikut mengadu nasib, musti melewati proses dan rekomendasi teknis (rekomtek) dari dinas terkait di kabupaten, provinsi, hingga di Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun).

Intinya, sudah kayak Ditjenbun lah yang membiayai beasiswa sawit itu. Padahal, tak sepeserpun duit Ditjebun yang mengucur. Semua biaya untuk itu dimintakan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Termasuklah untuk honor-honor para pegawai di daerah yang terlibat dalam proses seleksi beasiswa sawit itu.

Sumber Gatra.com menyebut, gara-gara bengkak di honor dan operasional selama proses seleksi itulah makanya alokasi duit yang biasanya cukup untuk mengkuliahkan ribuan anak pekebun, buruh kebun dan pabrik kelapa sawit dari semua provinsi penghasil sawit, mengkeret menjadi hanya bisa untuk biaya 8 provinsi.

“Pokoknya ruwet, ruwet,ruwet lah. Sudah lima tahun program beasiswa yang notabene duitnya berasal dari pekebun sawit ini berjalan, tahun inilah yang benar-benar ruwet. Padahal kalau dibandingkan dengan besaran duit Pungutan Ekspor (PE) yang disumbangkan oleh pekebun, jumlah duit beasiswa ini receh nya,” rutuk Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Medali Emas Manurung saat dihubungi Gatra.com, kemarin.

Goldameir Mektania, pekebun milenial di Kalimantan Tengah (Kalteng) juga sangat menyayangkan aturan main baru itu. “Jujur, saya merasa aneh saja. Saat Pungutan Ekspor (PE) lagi bagus-bagusnya, kok beasiswa sawit malah diciutkan. Tahun ini Kalteng memang kebagian, tapi dibatasi hanya dari Kotawaringan Barat dan Timur,” katanya.

Sementara kata jebolan program beasiswa Belanda ini, Apkasindo Kalteng sudah menyiapkan nama-nama anak pekebun, buruh kebun dan pabrik dari 12 DPD Apkasindo yang ada untuk ikut seleksi. “Kami pastikan bahwa nama-nama itu adalah mereka yang benar-benar berhak,” ujarnya.

Ketua DPW Apkasindo Papua, Albert Yoku, tak kalah jengkel. Dia menuding bahwa Ditjenbun tak paham soal urgensi beasiswa sawit itu.

“Usul saya, berlakukan saja quota, tak usah pakai rekomtek segala. Kalau aturannya dibikin seperti sekarang, bisa-bisa 14 hari kami melakukan perjalanan dari kampung baru tiba di kantor Dinas Perkebunan untuk mengurus rekomtek-rekomtek itu, belum tentu lulus,” suara Albert kesal.

Sama seperti Albert, Ketua DPW Apkasindo Sulawesi Barat, Andi Kasruddin Rajamuda, juga ikut kesal. “Ditjenbun jangan bikin aturan yang menyusahkan lah,” pintanya.

Bagi Ketua Harian (KH) DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gus Dalhari Harahap, cara-cara Ditjenbun ini sama dengan upaya merampok, mengambil paksa yang bukan haknya.

“Kerjaan pokoknya enggak dia kerjakan, kerjaan orang diambil. Jangan kalau untuk mengurusi duit, mereka pada heboh semua. Tapi giliran pekebun berhadapan dengan klaim kawasan hutan, mereka cuci tangan,” rutuk Gus.

Yang membikin lelaki 50 tahun ini semakin merasa aneh adalah ketika Aparatur Sipil Negara (ASN) didapuk boleh mendapat beasiswa sawit itu. “Ini kan sudah semakin aneh. Beasiswa ASN itu sudah ada nomenklaturnya dan itu harus melalui Badan Kepegawaian,” tegasnya.

Gus menyebut, apa yang dilakukan oleh Ditjenbun ini telah mengkerdilkan keberadaan BPDPKS sebagai Badan Layanan Umum (BLU).

“BPDPKS itu punya kapasitas lho, di sana ada sederet direktur yang dibebani tanggungjawab besar. Kalau beasiswa ini saja harus dicampuri oleh Ditjenbun, ini sama saja dengan BPDPKS itu hanya dianggap juru bayar. Jangan egois gitulah,” pintanya.

“Wong mengurusi PSR saja Ditjenbun sudah babak belur. Ini sudah tahun ke empat tapi hasilnya gimana?” tambahnya.

Gus kemudian meminta agar aturan main beasiswa itu dikembalikan seperti pola sebelumnya, tanpa intervensi kementerian. “Harusnya urusan beasiswa ini cukup domain BPDPKS. Kalau misalnya BPDPKS butuh pendampingan, tinggal pakai konsultan,” katanya.

Gulat sendiri mengaku, begitu uneg-uneg tadi membanjir, dia langsung menghubungi BPDPKS. Yang dihubungi hanya bisa angkat tangan lantaran aturan main soal beasiswa itu sudah diseret bulat-bulat oleh Ditjebun.

“Mestinya Ditjenbun paham dengan situasi. Jumlah beasiswa ini terbatas, keinginan kuat anak pekebun bahwa setelah lulus akan bekerja di kebun kelapa sawit, mestinya jadi pertimbangan utama. Termasuk kearifan lokal dan santri-santri yang pondok pesantrennya dekat dengan perkebunan sawit, ujar Gulat.

“Anak-anak kami sangat membutuhkan beasiswa ini. Apalagi bagi yang kebun sawit nya sedang menjalani PSR, praktis engak ada lagi pendapatan rutin bulanan lantaran sawitnya sudah ditumbang. Di sinilah strategis nya beasiswa itu. Bagi yang belum beruntung dapat PSR, beasiswa ini bisa menjadi pemicu semangat pekebun yang harga TBS nya berkurang akibat PE,” auditor Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) ini mengurai.

Dari penelusuran Gatra.com, Peraturan Menteri Pertanian pemicu kisruh itu sebenarnya sudah tergolong lama, tahun 2019 lalu.

Di pasal 6 peraturan nomor 7 setebal 32 halaman yang diteken oleh Menteri Pertanian era Amran Sulaiman itu disebutkan bahwa penerima beasiswa adalah pekebun, anak pekebun dan pegawai negeri yang ikut mengurusi sawit.

Di pasal 10 lah kemudian diatur bahwa proses seleksi beasiswa itu musti melalui rekomtek di kabupaten kota, provinsi dan pusat. Setahun kemudian Dirjenbun menguatkan Permentan itu dan dua bulan lalu, Dirjenbun yang saat ini masih dijabat oleh Kasdi Subagyono, membikin surat edaran.

Person In Charge (PIC) — orang yang bertanggungjawab — atas pelaksanaan beasiswa aturan baru ini, Ardi Pratomo belum sepenuhnya menjawab konfirmasi “Ada info yang kurang tepat,” katanya.

Direktur Perlindungan Tanaman Ditjenbun ini masih hanya mengatakan kalau pihaknya justru membuka kesempatan seluas-luasnya kepada provinsi yang ada sawit “Prosedur baru sedang disiapkan,” tambahnya

Sumber : Gatra.com

]]>
https://dpp-apkasindo.com/ditjenbun-dituding-mencaplok-duit-receh/feed/ 0 5390
Tahun 2020 Perkebunan Sawit di Kawasan Hutan Riau Seluas 1,89 Juta Hektar https://dpp-apkasindo.com/tahun-2020-perkebunan-sawit-di-kawasan-hutan-riau-seluas-189-juta-hektar/ https://dpp-apkasindo.com/tahun-2020-perkebunan-sawit-di-kawasan-hutan-riau-seluas-189-juta-hektar/#respond Fri, 16 Jul 2021 02:38:30 +0000 https://dpp-apkasindo.com/?p=5386 Dewan pimpinan wilayah Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPW APKASINDO) dan gabungan pengusaha kelapa sawit (GAPKI) Riau melaksanakan diskusi webinar, Senin (12/07/2021) kemaren. Acara sosialisasi ini secara resmi dibuka oleh Dewan Pembina dan Penasehat DPP APKASINO, yang diwakili oleh Kiai T.Rusli Ahmad. Saat Diskusi webinar tersebut, Mamun Murod menguraikan data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Riau bahwa luas kawasan hutan di Riau mencapai 5,38 juta hektare pada tahun 2020. Dari jumlah ini luasan perkebunan sawit di kawasan hutan seluas 1,89 juta hektare (35%).

Diskusi tersebut bertema sosialisasi regulasi undang-undang cipta kerja (UUCK)/ turunannnya dan cegah karhutla.

Pembicara pada webinar ini Kombes Pol Dr. Endang Usman, SH., MH. (Kabidkum Polda Riau), Dzakiyul Fikri, SH., MH. (Asisten Perdata dan Tata Usaha Negara Kejati Riau), Dr. Ir.Mamud Murod,MH. (Kepala Dinas LHK Riau), Sofyan, S.Hut,M.Si (Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XIX), Dr. Sadino,S.H.,MH. (Akademisi dan Praktisi Hukum Kebijakan Kehutanan), Samuel Hutasoit, SH., MH.,C.L.A (Dewan Pakar Hukum DPP APKASINDO), serta Eddy Nofiandy,SH.,MH. (Ketua Kompartemen Hukum dan Advokasi GAPKI Riau). Acara ini langsung di Pandu oleh Sekjend P Apkasindo, Rino Afrino, STT., MM.,C.APO.

Hadir juga pada acara tersebut Ketua DPW APKASINDO Riau, KH Suher dan Ketua GAPKI Riau, Djatmiko K. Santosa.

Saat Diskusi webinar tersebut, Mamun Murod menguraikan data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Riau bahwa luas kawasan hutan di Riau mencapai 5,38 juta hektare pada 2020. Dari jumlah ini luasan perkebunan sawit di kawasan hutan seluas 1,89 juta hektare (35%).

“Ini berarti proporsi sawit dalam kawasan hutan cukup besar dan Riau harus bersyukur dengan disyahkannya UUCK dan turunannya ini, berarti semua sudah ada solusinya masing-masing dan itu semua secara rinci diatur dalam turunan UUCK tersebut,yaitu Ultimum Remedium,” ujar Mamun Murod, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Riau.

Sementara itu, Sofyan selaku Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XIX menjelaskan dalam presentasinya bahwa Ketentuan Pasal 110A dan Pasal 110B dilaksanakan terhadap kegiatan yang dilakukan sebelum berlakunya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Ia mengatakan UU Cipta Kerja memang mengutamakan ultimum remedium (tidak ada pidana) untuk menyelesaikan masalah kebun sawit rakyat di kawasan hutan. Upaya penyelesaian persoalan ini dilakukan melalui PP Nomor 24/2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif di Bidang Kehutanan. Peraturan Pemerintah ini mengatur mekanisme penyelesaian kebun yang telah terbangun dalam Kawasan hutan sebelum UU Cipta Kerja terbit sebagaimana diatur dalam Pasal 110A dan Pasal 110 B UU No. 18 Tahun 2013 tentang P3H jo UU Cipta Kerja.

“Ya kita harus memandang permasalahan hutan dengan regulasi saat ini, jangan mengulang-ngulang dengan regulasi yang lama,” ujarnya.

Bagi Pekebun sawit yang kebunnya berada di kawasan hutan sebelum UUCK terbit dan memiliki izin seperti Izin Lokasi, IUP, dan STD-B, maka sesuai ketentuan Pasal 110A kepada Pekebun tersebut akan diberikan kesempatan selama 3 (tiga) tahun sejak UUCK terbit untuk memenuhi persyaratan yang ditentukan. Kemudian apabila persyaratan telah terpenuhi dan lolos verifikasi, maka terhadap kebun yang ada di Kawasan hutan produksi akan diterbitkan Persetujuan Pelepasan Kawasan hutan, sedangkan terhadap kebun yang ada di Kawasan Hutan Lindung dan Hutan Konservasi akan diberikan kesempatan melanjutkan usaha selama 15 (lima belas) tahun sejak masa tanam, itu clear.

Selain itu terhadap pekebun yang kebunnya telah terbangun sebelum terbitnya ketentuan teknis STDB tahun 2018,Mamud Murod dan Sofyan menyatakan Tim Verifikasi akan melakukan pengecekan dan verifikasi terlebih dahulu. Jika memang kebun tersebut telah terbangun namun tidak memiliki STDB karena ketentuan teknis STDB baru ada tahun 2018, maka penyelesaiannya tetap menggunakan mekanisme yang diatur dalam Pasal 110A tersebut.

“Tidak ada masalah, semua ada solusinya sebagaimana diatur dalam UUCK tersebut,” ungkap pejabat Kehutanan ini.

Jika terdapat tumpang tindih kebun sawit dengan Perizinan Pemanfaatan Hutan, maka akan diteliti mana yang lebih dahulu terbit. Jika Perizinan Pemanfaatan Hutan lebih dulu terbit maka kebun sawit akan dikurangi luasnya dan sisanya dilakukan Kerjasama Kemitraan dengan Perusahaan Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan selama 1 daur. Demikian pula sebaliknya.

Sementara itu bagi Pekebun sawit yang tidak punya perizinan dan kebunnya telah terbangun sebelum UU Cipta Kerja terbit (sebelum November 2020) maka setelah membayar denda administratif, terhadap kebun yang ada di Kawasan Hutan Produksi akan diterbitkan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan selama 25 tahun sejak masa tanam.

Lebih lanjut Sofyan menjelaskan, UUCK juga mengecualikan masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan paling singkat 5 tahun secara terus menerus dengan luasan paling banyak 5 ha, dibebaskan dari sanksi pidana atau sanksi administratif, karena akan diselesaikan melalui program Penataan Kawasan Hutan.

“Maka itu saya sampaikan selamat kepada Petani sawit dengan lahir nya UUCK ini dan kita semua harus move on dengan UUCK ini,”ucapnya.

Selanjutnya Kombes Pol Dr Endang Usman SH MH, Kabidkum Polda Riau, mewakili Kapolda Riau, Irjen Pol Agung Setya Imam Effendi, SH., SIK.,M.Si , menjelaskan bahwa kepatuhan masyarakat sangat penting memahami dan menjalankan hukum yang sudah dibuat sedemikian rupa dan semua sudah bersolusi. Adanya UUCK diharapkan menjadi terobosan hukum untuk penyelesaian masalah di sektor kehutanan dan tidak ada pidana, semua mengedepankan Ultimum Remedium,”.

“Namun demikian bukan tidak mungkin muncul pidana lain? bisa saja, seperti unsur kebakaran lahan, pemalsuan surat tanah atau unsur lainnya,”katanya.

“Kami harapkan semua pihak tanpa kecuali patuh dan jalankan kesempatan dari regulasi ini, ini cukup bagus untuk kepastian hukum. Polda Riau menghimbau untuk sama-sama dalam menjaga iklim usaha, berjalan terkhusus disaat masa pandemic ini semua pihak harus saling bahu membahu, termasuk pencegahan karhutla,” jelas Endang Usman.

Endang Usman juga menjawab pertanyaan dari peserta yang menanyakan mengapa aparat kepolisian masih melakukan penyidikan terhadap pekebun yang kebunnya masuk kategori keterlanjuran sebagaimana dimaksud dalam UUCK. Ia menjelaskan, “masyarakat tidak perlu khawatir dengan pemanggilan sebab penyidik yang menerima laporan dari masyarakat perlu melakukan klarifikasi terhadap pekebun”. Meskipun demikian, Ia juga menegaskan “Polda Riau akan segera mensosialisasikan UU Cipta Kerja yang mengusung kebijakan terobosan ultimum remidium (tidak dipidanakan) ini ke seluruh jajaran Polda Riau sampai ke Polres”.

“Agar tercipta satu pemahaman yang selaras dan berdasarkan regulasi yang sudah di undangkan,” tegas Endang Usman. (rls)

Sumber : riaupower.com

]]>
https://dpp-apkasindo.com/tahun-2020-perkebunan-sawit-di-kawasan-hutan-riau-seluas-189-juta-hektar/feed/ 0 5386
Petani Sawit Bekerja Untuk Bangsa, NGO Bekerja Untuk Siapa? https://dpp-apkasindo.com/petani-sawit-bekerja-untuk-bangsa-ngo-bekerja-untuk-siapa/ https://dpp-apkasindo.com/petani-sawit-bekerja-untuk-bangsa-ngo-bekerja-untuk-siapa/#comments Fri, 16 Jul 2021 02:36:02 +0000 https://dpp-apkasindo.com/?p=5383 Dr (cn) Ir Gulat Manurung, MP.C.APO, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) menjelaskan sehari-hari petani sawit sangat akrab dengan aspek menjaga lingkungan.

“Setiap hari kami menari dan bernyayi sambil bersiul-siul dengan alam lingkungan. Kami sangat mesra dengan lingkungan,” ujarnya.

Sebagaimana hasil penelitian Universitas Riau bekerjasama dengan APKASINDO (2021), terdapat empat  indikator berkaitan hubungan petani sawit dengan praktik berkelanjutan (sustainable). Empat indikator tersebut adalah  dimensi sosial, ekonomi, ekologi dan hukum tatakelola kehutanan. Sejatinya, semua memenuhi kriteria sustainable kecuali dimensi hukum tatakelola kehutanan.

“Memang faktanya petani sawit masih banyak diindikasikan sawitnya dalam kawasan hutan atau sebaliknya. Itukan hanya rangkaian huruf “kawasan”  buatan manusia tapi aslinya sawit itu sangat mesra dengan lingkungan. Namun semua itu sudah diakomodir melalui UU Cipta Kerja dan sedang berproses. Setidaknya, pemerintah  terutama Kementerian LHK  sudah move on memperbaiki tata kelola kehutanan sesuai kondisi eksisting,” ujar Gulat.

Sementara itu, menurutnya, petani jelas berjuang menjaga sawit Indonesia untuk selalu “mesra” dengan lingkungan. Baik melalui  devisa dan sumbangan oksigen untuk dunia  dan keberlangsungan ekonomi bangsa ini.

“Memang dengan segala keterbatasan kami sebagai petani Sawit. Tapi semua terpesona. Semua anak bangsa ini berperan dan mengambil manfaat dari lingkaran industri sawit, tidak peduli kaya, miskin, suku, tua muda dan apapun itu. Semua berperan dan mengambil manfaat untuk hidup, berdampingan dan kesejahteraan,”harap kandidat doctor lingkungan ini.

Ia menegaskan sebagai  sebagai bangsa harus bangga dengan sawit yang telah menyelamatkan hutan  dunia. Perkebunan sawit dapat memenuhi kebutuhan 53 juta ton CPO dari 16,3 juta ha kebun sawit  Indonesia untuk dunia.

“Coba bayangkan tanpa minyak sawit, maka sepuluh kali lipat hutan akan digunakan menanam tanaman penghasil minyak nabati lainnya.  Sawit itu menanam dan memanen (reversible). Inilah cara petani sawit dalam mensyukuri nikmat dari Tuhan.

Oleh karena itu, dikatakan Gulat, petani sawit sangat mendukung NGO dalam aspek menjaga lingkungan.

“Namun perlu ditanya “untuk siapa mereka menjaga?” tanya Gulat.

Menurutnya, NGO dalam mensuarakan tranparansi juga berlaku untuk dirinya sendiri. Kebohongan yang selalu diulang-ulang, jika terus berulang bisa berubah jadi kebenaran. Untuk itu, petani sawit adalah kelompok yang tidak mau dibohongi.

“Kami Petani sangat transparan dalam segala hal. Bahkan untuk sesuatu yang berat dilakukan dalam regulasi . Terpaksa kami katakan siap, itu semua untuk sawit indonesia dan menjaga lingkungan,” pungkas Gulat.

Sumber : sawitindonesia.com

]]>
https://dpp-apkasindo.com/petani-sawit-bekerja-untuk-bangsa-ngo-bekerja-untuk-siapa/feed/ 1 5383